Wednesday, December 24, 2008

Djokdja Institute of Holiday: everyday is Sunday in Djokdja

Pada Holy Day, orang-orang pergi ziarah.

Pada holiday, mau pergi atau tidak, terserahlah.......

Holiday alias hari libur adalah hari merdeka. Pada hari itu tersedia kemerdekaan untuk memilih do something, do anything, atau bahkan do nothing. Sedini tahun 314 Masehi, Kaisar Konstantin sudah menerbitkan dekrit larangan bekerja pada Dies Soli alias hari Minggu atau Sunday. “Untuk keagungan hari Sang Surya,” ujar Tuan Kaisar. Dekrit itu pun kemudian berlaku bagi warga kota dari hampir semua profesi kecuali para petani - yang gandum dan sapi-sapi mereka biasa menjalani hidup tanpa peduli nama-nama hari. Libur pernah menjadi sepuluh hari sekali di Prancis. Segera setelah revolusi, kaum Republikan mengintroduksikan siklus desimal yang berbasis sepuluh. Panjang satu tahun memang tetap sama, banyaknya bulan pun tak berbeda. Tapi satu jam dianggap seratus menit, seminggu jadi sepuluh hari, sebulan cuma berisi tiga minggu. Alhasil, libur pun cuma tiga hari dalam sebulan, walaupun kemudian rapelan diberikan pada sisa hari di akhir tahun. Stalin, pada musim semi 1929, mengadopsi cara Prancis itu sekaligus melenyapkan siklusnya. Pabrik tak punya libur. Buruh punya jatah empat hari kerja, lalu sehari libur, secara bergiliran. Tujuannya: meningkatkan produktivitas. Maka ayah, ibu dan anggota keluarga yang bekerja tak pernah libur bersamaan. Dewan direksi pun hampir tak mungkin rapat pleno karena selalu ada personel yang sedang pakansi. Bank dan sekolah jadi ribet mengatur jadwal. Bisa diduga, cara ini tak berlangsung lama. Almanak Stalin hanya berlaku 9 tahun, lebih cepat usang ketimbang kalender Prancis yang bertahan 15 tahun. Kaum Bolshevik, seperti halnya Bonaparte, memutuskan kembali pada kalender Gregorian, yang berlaku umum di dunia sampai saat ini.

Liburan juga datang pada peringatan hari-hari yang secara sekuler dianggap penting. Hari kemerdekaan, hari pahlawan, hari buruh, hari ibu, hari anak, dan banyak lagi hari bisa ditetapkan oleh penguasa lokal untuk menjadi hari libur. Jika liburan semacam ini bersambung dengan libur akhir pekan, jadilah long weekend. Maka peringatan kelahiran George Washington pun digeser menjadi Senin ketiga Februari, dan Columbus Day pada Senin kedua Oktober. Di Indonesia, belakangan ini beberapa libur nasional juga digeser untuk menghasilkan long weekend. Konon katanya, penggeseran ini bisa memacu aktivitas ekonomi liburan, termasuk pariwisata. Tujuan lain barangkali adalah mengeliminasi hari kecepit nasional, yang ditandai dengan bolos informal (tapi kolektif) oleh para pegawai. Aktivitas masyarakat di hari libur juga berubah dari masa ke masa. Aktivitas privat yang bersifat individual marak terutama setelah Inggris menjadi ‘Raja Samudera’, mengambil alih dominasi Spanyol dan Portugis. Saat itu kopi, teh, dan tembakau membanjiri pasar Eropa. Bersama kehadiran buku yang makin murah berkat teknologi mesin cetak, meluangkan waktu liburan di rumah menjadi pilihan yang mengasyikkan bagi khalayak. Lalu televisi datang menyita waktu dan segalanya. Kini, dengan komputer personal dan internet kita bisa sendirian ke mana-mana tanpa harus pergi ke mana-mana.

Sebelum itu, libur lebih bersifat publik. Orang pergi ke taman untuk menikmati pemandangan atau menemani anak bermain. Pelbagai tontonan, sebagian telah berurat-akar sejak zaman prasejarah, seperti teater dan tari, terus memperbarui diri untuk menemani orang-orang menikmati liburan mereka. Format pertunjukan baru pun bermunculan. Sirkus modern manggung perdana di Inggris pada 1768, kemudian menyebar ke Eropa. Opera, yang di tahun-tahun akhir abad XVI dipentaskan di pelataran aristokrat Italia, mencapai puncaknya pada abad ke-19. Jangan lupa, koran Minggu (juga lotere) turut memicu pertumbuhan penonton pacuan kuda dan pertandingan olahraga.

Liburan dan hiburan tampaknya memang tak terpisahkan. Enam belas weekend antara medio Mei hingga awal September biasanya menjadi sasaran waktu bagi Hollywood untuk merilis blockbuster. Tapi yang juga tak terpisahkan adalah; libur dan kerja. Keduanya selalu datang berselang-seling. Percaya bahwa bekerja membawa manfaat dan berlibur itu mudharat, kata Bertrand Russel, adalah gejala menuju nervous breakdown. Tapi terus-terusan libur, ujar George Bernhard Shaw, juga akan jadi neraka. Maka jauh-jauh hari Aristoteles berkata, “Bekerjalah, agar kamu bisa bersantai.” Benarkah? Aristoteles tentu tak mempertimbangkan negeri kita. Bukankah di negeri ini banyak pekerjaan publik dilakukan sambil bersantai-santai? Apa beda hari libur dengan hari kerja tanpa target? Banyak pertanyaan bisa diajukan, tapi tak semua tanya punya jawab.

Nah, di Djokdja Institute of Holiday nikmatilah nyamannya belajar dalam tempo, dinamika, dan kegembiraan sebuah liburan. Inilah cerita tentang sebuah kota pelajar yang punya banyak sekolahan tapi juga punya banyak tempat pelesiran. Tentang sebuah kota dengan banyak hal yang bisa dipelajari, termasuk belajar berhibur dan berlibur. Sebab, banyak orang bilang, kualitas bekerja (mungkin juga kualitas belajar) ditentukan juga oleh kualitas liburannya. Kalau begini, kita bisa membalik Aristoteles: Berliburlah, agar kamu bisa bekerja.

Everyday is Sunday in Djokdja.

Happy holiday


No comments: